Beberapa
waktu yang lalu dosen Writing III plus Kajur jurusanku berpesan pada saat
perkuliahan, “Pergi ke luar negeri itu penting untuk mahasiswa, terutama dari
jurusan kita. Dari sanalah kita bisa belajar cross cultural understanding
(CCU)…”
Dari
perkataan beliau aku teringat pengalaman waktu di Dubai. We did undertake many
cross cultural understandings there, but I just want to tell you some.. (What I
remember)
Pengalaman
CCU pertama dan yang paling sering dialami sampai akhir waktu di sana adalah
bagaimana kita harus mengerti maksud perkataan penduduk di sana yang mayoritas
berasal dari suku Hindi or India. As we know that Indian accent in English is
totally different with the accents that Indonesian people had studied before
which are British, American, or even Australian English. Tau kan gimana orang
India ngomong Inggris? Kita bisa liat orang India berbicara dalam bahasa
Inggris di video video dokumenter internasional or film India yang ditayangin
di TV, dan pada saat itu aku harus berhadapan live dalam kehidupan dengan
mereka. What an amazing thing! Alhasil aku hanya bilang yes yes aja ketika ada
perkataan mereka yang gak aku ngerti, karena kalo mereka aku tanya balik buat
klarifikasi, mereka gak mau dan cenderung buat bilang yes juga. Sesuatu.
Trus yang
kedua, masalah makanan.
Chapter 1
Bayangin
aja kurang lebih 5 hari bakal gak ketemu nasi. Terlebih, waktu itu bulan
Ramadan yang bikin kita harus punya banyak energi. Sumber energi kan
karbohidrat plus glukosa, makanan paling sempurna buat memenuhi itu adalah
nasi. Selain kita gak biasa makan roti sebagai makanan utama, apalagi roti
kadang kadang gak enak, roti juga kan gak bikin kita kenyang seperti kalo kita
makan nasi. Kita nyari nyari restoran yang jual nasi dan alhamdulillahnya ada,
dan yang bikin lebih alhamdulillah lagi adalah letak restorannya dekat dengan
hotel tempat kami menginap, jadi ya gak perlu biaya lebih untuk menuju ke sana.
Pertama kali masuk kesana kami bingung mau pesan paket yang gimana. Rata rata
harga per paket buat satu orang itu 15 dirhams. 15 x Rp 2500 = Rp 37.500. Terdiri
dari nasi putih/kentang goreng/roti (optional), dua potong ayam goreng, and a
big cup of Coca Cola (Coca Cola–nya pake huruf Hijaiyah gundul, jadi geli
sendiri liat cup-nya). Harga segitu lumayan mahal buat anak kos buat satu kali
makan, terutama yang kos di Yogyakarta yang harga makanan jauh lebih murah
dibanding dengan kota lain #eh, tapi kalo dipikir lagi ya lumayan murah untuk
harga di kota super metropolitan seperti Dubai. Pada awalnya kami ingin pesan paket
itu, but there was another special offer. Ada paket buat dua orang dengan harga
25 dirhams. 25 x Rp 2500 = Rp 62.500. Kalo dihitung kan lebih murah. Kalo pesan
paket yang pertama untuk dua orang akan memakan biaya Rp 75.000, tapi kalo
pesan paket yang kedua Hanya Rp 62.500. Rp 75.000 – Rp 62.500 = Rp 12.500,
lumayan bisa ngirit *motif anak kos*. Akhirnya kami memesan paket yang kedua
dengan komposisi makanan yang sama dengan paket pertama tapi jumlahnya dua kali
lipat. Kami mulai tersenyum riang karena akhirnya bisa menikmati nasi. Kami
buka cup tempat nasinya, dan anehnya kami sempet foto dulu sebelum makan nasi
#iyuh. Kami mulai makan… And you know
what?! Nasinya gak enak (T_T). Nasinya baunya aneh cetar membahana seperti
makanan bebek dan rasanya itu gak seperti nasi Indonesia atau negara ASEAN
lainnya. Ternyata itu nasi yang terbuat dari beras daerah suku Hindi (India,
Bangladesh, Srilanka, dll, kurang tau tepatnya). Hal itu bisa diketahui karena
ukuran nasinya yang lebih kecil daripada nasi ASEAN. Aku hanya makan sedikit
sekali nasinya dan memilih untuk makan ayam gorengnya aja, tapi Ebi melanjutkan
makannya. Tapi gak lama setelah melanjutkan makan, Ebi jua berhenti dan nasinya
gak habis. Beneran deh kalo ada kamera infrared kami melambaikan tangan karena
udah gak kuat #MasihDuniaLain. Kami makan ayam gorengnya dan masing-masing hanya
bisa menghabiskan satu dari dua potong jatah yang ada. Akhirnya sisa ayam
gorengnya punya aku dan Ebi dibawa Ebi karena aku juga gak mau makan lagi
karena udah kenyang dan mungkin kenyangnya karena ada efek illfeel disebabkan
makan nasi tadi. Mungkin ayam gorengnya bisa disimpan di kulkas kecil di kamar
hotel dan dimakan keesokan harinya (tapi gak tau deh kabar selanjutnya dari
nasib ayam goreng malang itu). Kami juga hanya ‘nyeruput’ Coca Cola-nya
sedikit, jadi mubazeeer banget.
Keesokan
harinya kami ke restoran itu lagi, memesan paket yang sama lagi, tapi aku
memutuskan untuk mengganti nasi dengan kentang goreng dan Ebi masih nekat
memesan nasi dahsyat itu *sok jagoan, tapi juga kepepet karena kalo gak makan
nasi ntar bisa meriang seperti hari sebelumnya*. Kentang gorengnya enak dan
Asian taste banget, tapi aku gak bisa menghabiskannya karena porsinya gede
banget, mungkin karena porsi orang luar menyesuaikan ukuran tubuh mereka,
sedangkan kami bangsa Melayu yang ukuran tubuh dan porsi makannya kecil. Di
sisi lain, si Ebi juga gak bisa menghabiskan nasinya saudara saudara!
*sukurin*. Ayam goreng dan Coca Cola-nya juga gak habis lagi dan nasibnya sama
seperti hari sebelumnya. Poor them! Huhu. Jadi kita harus mirip kata pepatah,
sedia nasi sebelum keluar negeri. #alay
Chapter 2
Konferensi
berakhir tepat pada saat adzan maghrib. Kami keluar dari Ballroom tempat
konferensinya diadakan dan memutuskan untuk singgah di lobby hotel. Di sana
disediakan takjil berupa kurma dan minuman yang ditempatkan di dalam bejana
yang apabila ingin dinikmati kita harus menuangkannya ke gelas kecil yang
disediakan. Aku makan kurma dengan lahapnya karena kurma merupakan buah
favoritku dan dengan liciknya aku membungkus beberapa kurma dalam tissue untuk
dinikmati kemudian karena takjilnya akan segera dibereskan oleh petugas hotel
*ini bukan maling lho, halal, kan emang jatah pengunjung hotel, hanya caranya
aja yang unik*. Aku gak tertarik dengan minuman yang disediakan dan hanya minum
air mineral yang ada. Ebi dengan percaya diri mencoba minuman itu. Eng ing
eng…. Minumannya ternyata sangat gak enak. Ebi curhat ke aku kalo minumannya
gak enak, seperti dibuat dari rempah-rempah gitu. Aku hanya bisa tertawa
cekikikan atas malangnya masib teammate-ku ini.
Chapter 3
Waktu
menunggu waktu boarding pemberangkatan ke Indonesia di Dubai International
Airport, aku dan Ebi bertemu dengan beberapa pekerja Indonesia yang akan pulang
kampung. Kami sangat senang bertemu sesama orang Indonesia dan menghabiskan
waktu boarding dengan berbincang-bincang. Tiba tiba salah seorang petugsa
bandara memanggilku dengan body language menggerakkan jari sebagai isyarat
bahwa ia punya suatu urusan untuk dibahas denganku. Aku meresponnya dengan
menunjuk dirikku untuk memastikan apakah benar aku yang dipanggil. Ia
mengangguk. Aku mendekatinya dengan rasa khawatir barangkali ada masalah dengan
diriku. Ternyata ia hendak memberi takjil karena pada saat itu bertepatan
dengan waktu berbuka puasa. Ia memberikan buah buahan sperti anggur, jeruk, dan
apel merah sebagai penyegar setelah seharian berpuasa. Ia juga memberikan
makanan dan minuman yang belum pernah kami coba sebelumnya, roti dengan rasa
daun mint+keju dan susu onta. Susu ontanya terdiri dari dua rasa, plain dan
strawberry. Aku mencoba susu onta yang plain. Susunya benar-benar kental tidak
sperti susu sapi atau kedelai. Rasanya cukup nice untuk susu plain. Tapi
rotinya?? Ya rotinya benar benar roti rasa daun. Rasanya dominan pahit dengan
aroma rempah daun mint dan sesekali terasa asin karena kejunya. Pengalaman
pertama menikmati roti dengan rasa daun dan akan lebih baik jika diberikan ke
orang lain kalau suatu saat mendapatkan roti seperti itu lagi.
Sebagai
tambahan, terdapat Gala Dinner yang disediakan panitia tapi kami memutuskan
untuk solat maghrib dulu mengingat waktu untuk solat maghrib sempit, dan
berspekulasi kalau ikut Gala Dinner-nya menyusul setelah solat. Setelah solat,
kami menuju ruang Gala Dinnernya. Ajaibnya Gala Dinner-nya telah usai. We were
extremely unlucky. Tapi dari situ kamu belajar bahwa budaya tepat waktu benar
benar diimplementasikan dengan baik di luar negeri. (T_T)